Aceh Butuh Pemimpin Yang Cinta Lingkungan

Aceh Butuh Pemimpin Yang Cinta  Lingkungan. Pada dasarnya kita ini adalah pemimpin, jiwa kepemimpinan sudah ada dan terbawa pada saat lahir. Tinggal saja bagaimana kita membangkitkan ruh kepemimpinan itu menjadi wujud nyata. Meskipun kemudian, kita tidak mampu menjadi pemimpin sebuah negara, sebuah provinsi, sebuah kabupaten, sebuah mukim, atau sebuah desa, namun yakinlah kita akan memimpin sebuah keluarga. 

Untuk menjadi seorang pemimpin, masalahnya ada pada kesempatan. Bagaimanapun upaya kita mengasah kemampuan menjadi seorang pemimpin, jika tidak ada kesempatan semua itu mustahil. Sebaliknya jika memiliki kesempatan tanpa belajarpun kita akan mendapatkannya, meskipun tidak memiliki pendidikan tinggi kursi kepemimpinan akan kita raih, meskipun dalam perjalanan harus berurusan dengan hukum atas ketidakmampuan dan ketidaktahuan kita.


Aceh sebuah provinsi yang unik, dan bahkan banyak orang yang juluki Aceh sebagai daerah modal. Aceh cukup kaya, meskipun banyak masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan. Tahun 2016 merupakan tahun yang menarik untuk di ikuti, karena ditahun ini banyak tokoh yang mulai mempublis dirinya, meyakinkan masyarakat, dan bahkan ada yang memaksakan diri sebagai calon Gubernur Aceh. Lumayan bagi pihak yang sedang menjabat sekarang dan memiliki niat untuk maju kembali setidaknya dengan dana dan fasilitas negara bisa dibaluti misi politik Pilkada Tahun 2017. Beda halnya bagi pihak yang saat ini berada diluar pemerintahan tentu harus mengeluarkan uang pribadi dalam menguatkan barisan dukungan.

Beragam visi mulai dibicarakan, bahkan ada juga yang mempublis kembali apa yang pernah dilakukan sebelumnya sehingga meyakinkan masyarakat untuk kedepan sebuah pilihan yang tepat jika dia dipilih kembali. Tak heran juga, ada pihak yang melakukan klarifikasi janji yang pernah diucapkan dan saat menjabat tidak bisa ditepati, klarifikasi dilakukan dengan beragam alasan sebagai upaya mempengaruhi masyarakat untuk dipilihnya kembali. Tapi yang pastinya semua visi tersebut untuk kepentingan masyarakat, semua untuk kepentingan rakyat, meskipun dalam pelaksaannya untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu.

Banyak diskusi dan perdepatan sekitar "mobil" apa yang digunakan untuk menuju Aceh satu, apakah menggunakan Partai Politik (Lokal - Nasional) atau menggunakan "mobil" aman lewat jalur perseorangan/independen. Tentu dalam memutuskan itu ada perhitungan untung ruginya. 

Tapi sampai tahun ini belum terdengar ada diskusi terkait calon yang membawa misi cinta lingkungan. Cinta lingkungan dalam aspek ini masih bersifat umum. Yang banyak justru aspek ekonomi dan sosial budaya, akan tetapi aspek ekologis masih cilent dalam diskusi politik di Aceh.

Banyak permasalahan lingkungan di Aceh yang belum terselesaikan, bahkan angka kasus lingkungan terus bertambah. Jenis kasusnya cukup beragam, mulai konflik agraria, kasus perkebunan, pertambangan, pengelolaan hutan yang belum tepat, ekploitasi sumberdaya alam yang belum memihak pada kepentingan rakyat. 

Disatu sisi, masyarakat krisis akan lahan pertanian, disisi lain pemerintah mengalokasikan lahan untuk perusahaan perkebunan. Kemudian, masyarakat seakan terpaksa menjadi buruh perkebunan. Contoh lain, desain pembangunan belum memiliki perspektif lingkungan dan tanggap bencana. Pembangunan jalan dan jembatan dikawasan rawan bencana belum mengikuti model atau penyesuaian dengan kondisi kawasan, sehingga disaat bencana terjadi badan jalan dan jembatan ikut terbawa longsor. Desan pembangunan dan pengelolaan sumbedaya alam juga masih menutup mata pentingnya keselamatan satwa. Banyak pembangunan yang telah memutus akses jenis satwa tertentu, putusnya koridor satwa cukup berdampak pada terjadinya konflik satwa dengan manusia.

Pengelolaan sumberdaya alam masih terkesan mengedepankan kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat di nomor sepuluhkan. Buktinya, sejumlah konflik agraria antara perusahaan dengan masyarakat sampai saat ini belum mampu terselesaikan. Justru masyarakat harus berhadapan dengan hukum dan berdiam diri dibalik jeruji besi. Padahal upaya yang dilakukan oleh masyarakat hanya sebatas mempertahankan lahan kelolanya. Dalam kondisi ini pemerintah justru ikut terlibat dalam "merampas" lahan warga, bukan sebaliknya pemerintah memberikan kemudahan atau mengalokasikan lahan untuk warga sebagai sumber ekonominya.

Disisi lain, akibat dari desain pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam yang keliru masyarakat harus menerima dampak langsung dari itu. Masyarakat harus menanggung kerugian akibat dari bencana kiriman, masyarakat harus berurusan dengan satwa liar akibat kawasan satwa telah dijadikan kawasan perkebunan besar. Dan masyarakat harus merelakan dirinya tetap berada dibawah garis kemiskinan akibat dari kekayaan Aceh yang "dirampok" oleh penguasa dan pemiliki modal.

Atas kondisi tersebut, sudah saatnya Aceh merindukan sosok pemimpin yang memiliki cinta terhadap lingkungan. Memiliki visi penyelamatan lingkungan hidup, dan sebagai desainer pembangunan yang memiliki perspektif bencana. Dan intinya, Aceh membutuhkan pemimpin yang mampu memperpadukan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologi.

Karena rusaknya atau bagusnya sebuah alam sangat tergantung pada pemimpin, Allah akan meminta pertanggungjawaban dikemudian hari atas apa yang oleh pemimpin tersebut. Alam dan seluruh makhluk hidup akan ikut menjadi saksi atas pertanggungjawaban itu.[]

Baca juga: 

Jika Tualang Jadi Gubernur Aceh