Banjir Membawa Berkah



Banjir Membawa Berkah. Ternyata banjir tidak selalu identik dengan bencana, sebuah rahasia Tuhan dibalik sebuah bencana tersimpan sebuah pembelajaran dan hikmah bagi sebagian kelompok manusia. Cerita unik ini terjadi disebuah desa terpencil di Aceh, dimana warga selalu berdoa dan mengharap datangnya banjir. Beda dengan masyarakat pada umumnya yang tidak berharap datangnya banjir.

Tentu desa ini memiliki alasan tersendiri kenapa berharap datangnya banjir. Tualang yang sempat berkunjung ke desa tersebut menemukan sejumlah alasan kenapa banjir membawa berkah bagi semua penduduk desa. Desa ini berada dipinggiran sungai dan dikelilingi oleh rawa. Rumah-rumah penduduk berada dipinggiran sungai dan rawa-rawa.

Mungkin desa ini menjadi referensi yang tepat untuk kita belajar bagaimana menghadapi banjir. Semua rumah penduduk didesain dalam bentuk rumah panggung, termasuk bangunan sekolah meskipun terbuat dari konstruksi beton. Penduduk desa menggantungkan hidupnya pada mata pencaharian mencari ikan rawa. Jenis ikan rawa yang menjadi potensi sungai dan rawa sekitar desa mereka berupa ikan lele, ikan gabus, dan belut.


Dilihat dari desain bangunan rumah tentu bencana banjir tidak akan menjadi ancaman bagi mereka. Begitu pula halnya dengan sumber perekonomian warga, tentu bencana banjir membawa berkah bagi mereka. Kenapa tidak, jika banjir terjadi jumlah tangkapan mereka akan meningkat. Inilah alasan utama bagi mereka bencana banjir membawa berkah bagi penduduk desa.

Selain itu, karena desa berada di pinggiran sungai dan dikelilingi oleh rawa, alat transportasi mereka menggunakan boat sampan. Pengamatan Tualang saat berada di desa tersebut, semua warga menggunakan boat sampan untuk mencari ikan rawa. Tidak hanya untuk itu, pada umumnya juga warga menggunakan boat sampan pada saat menjual hasil tangkapannya ke pasar. Sehingga tidak heran jika terlihat anak seusia sekolah dasar memiliki kemampuan dan berani menggunakan boat sampan disungai atau di rawa.

Pengakuan salah satu warga, jumlah tangkapan mereka akan menurun pada saat musim kemarau atau bukan pada musim hujan. Karena jika debit air sungai dan rawa naik, maka cukup mudah bagi dia untuk mendapatkan ikan rawa.

Terkait dengan tantangan yang dihadapi warga, mereka mengakui tantangan terbesar selain musim kemarau adalah ancaman buaya. Ternyata di sungai dan rawa ada buaya yang kerap mengganggu warga pada saat mencari ikan. Pada saat Tualang berkumpul dengan warga disebuah warung kopi desa setempat, Tualang melihat kalung salah satu warga yang gantungan kalung tersebut mirip dengan tulang. Dan pengakuan warga gantungan kalung tersebut adalah gigi taring buaya yang mereka bunuh pada suatu ketika.

Jumlah pendapatan yang warga dapatkan juga beragam. Jika musim kemarau rata-rata pendapatan yang mereka dapatkan sekitar 100 ribu perhari (sekitar 2,5 kg ikan). Beda halnya disaat musim hujan atau banjir, jumlah pendapatan mereka bisa berlipat ganda. Terlebih belut yang memiliki harga jual sekitar 50 ribu perkilo.

Cerita diatas menjadi bukti adanya sebuah keseimbangan dari setiap kondisi yang terjadi. Termasuk bencana, ada pihak yang dirugikan namun ada juga pihak yang mendapatkan rahmat dari bencana tersebut, dan itulah bentuk keseimbangan alam. Desa dalam cerita diatas ada di Aceh Singkil, desa tersebut berbatasan langsung dengan Rawa Singkil.[]


 Artikel terkait:

Banjir Vs Sawit

Air "Nafas" Manusia

Pelaku Usaha Perkebunan Dilarang Alih Fungsi Kawasan

Penyebab Bencana Longsor

Penyebab Banjir

Merawat Air