“Bendera Perang” harus segera dikibarkan dalam
melawan skenario lapangan kerja dengan pendekatan “perbudakan” di perkebunan
kelapa sawit. Beragam cara dilakukan untuk mendapatkan menguasai lahan untuk dijadikan
kawasan perkebunan oleh perusahaan (HGU). Sejumlah janji diberikan, tidak hanya
janji langsung kepada masyarakat juga oleh perusahaan janji tersebut terukir
indah dalam sejumlah dokumen sebagai prasyarat mendapatkan izin perkebunan.
Janji lapangan kerja sebagai senjata pamangkas untuk
merayu masyarakat agar diserahkan lahan pertaniaannya untuk perusahaan
perkebunan. Kemudian pemerintah juga terlelap dengan janji itu, dengan
pertimbangan masuknya perusahaan perkebunan akan terbuka lapangan kerja untuk
rakyat. Benar! Lapangan kerja dimaksud untuk dijadikan rakyat sebagai “budak”
atau buruh, inikah tujuan Negara? Saya pikir tidak. Seharusnya pemerintah
memikirkan bagaimana mendesain program yang mampu membuat masyarakat (petani)
mandiri dan merdeka diatas tanahnya.Baca Juga Sawit vs Kemiskinan
Masyarakat sudah saatnya melawan dan menentang
praktek perburuhan tersebut. Pertahankan tanah meskipun sejengkal, jangan
serahkan kepada perusahaan perkebunan. Lebih baik merdeka ditanah sejengkal
daripada harus menjadi buruh di perusahaan perkebunan. Yang prakteknya buruh
tersebut juga tidak mendapatkan sejumlah hak (jaminan kesehatan, pensiunan)
dari perusahaan.
Jangan pernah menjual tanah untuk perusahaan
perkebunan, jangan mahu menerima ganti rugi. Pertahankan tanah tersebut, garap,
dan kelola lahan pertanian itu dengan sistem sendiri, mandiri, dan merdeka. Karena
praktek perkebunan saat ini sudah diluar kaedah penyelamatan lingkungan hidup,
merusak kawasan, hilangnya debit air (perkebunan kelapa sawit), pencemaran,
pembakaran, dan banyak kasus lain yang terjadi.[] Baca Juga Kerangka Penjelas Konflik Agraria Struktural