Pengembangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit
merupakan proses konversi atau alih fungsi dan bentuk lahan yang merubah
bentang alam lahan yang luas sehingga menyebabkan kerusakan fungsi dan jasa
lingkungan. Perubahan bentang alam terutama hutan, lahan, badan air, danau dan
sungai menutup, membatasi dan mengurangi kemampuan dan akses masyarakat adat,
perdesaan dan petani dalam meneruskan dan memelihara anugrah alam yang selama
ini menjadi alat dan faktor yang menjadi sumber mata pencaharian, pangan dan
papan mereka. Pengaruh lain terhadap
kondisi dan kehidupan sosial masyarakat akibat penguasaan dan persaingan yang
semakin mengurangi dan merubah secara paksa jati-diri, kebiasaan dan kearifan
masyarakat seperti berkurang atau tertutupnya hak dan akses, mata pencaharian,
nilai budaya dan agama, mobilisasi tenaga kerja dari luar dengan hadirnya
perkebunan dan pabrik kelapa sawit.
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia
oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat bibit
kelapa sawit yang dibawa oleh Mauritius dari Amsterdam dan ditanam di Kebun
Raya Bogor. Tanaman Kelapa Sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara
komersial pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara oleh Adrien Hallet,
seorang berkebangsaan Belgia. Luas kebun kelapa sawit terus bertambah dari
tahun ke tahun. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur
Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Hingga
tahun 2015 perkebunan sawit di Indonesia sudah mencapai 11,44 juta hektar,
namun Aceh saat ini berada diposisi kesembilan luas perkebunan sawit tingkat
nasional. Akan tetapi, dalam konteks Aceh ekspansi perkebunan sawit terus
bertambah dan sudah mencapai pada angka 393.270 ha di tahun 2014 atau sekitar
39,43% penguasahaan lahan dari komoditas lainnya. Baca Juga Dana Desa Berpotensi Merusak Lingkungan, Benarkah?
Dari jumlah tersebut, Kabupaten Nagan Raya menempati
urutan pertama penguasaan lahan untuk perkebunan sawit seluas 82.252 ha
(20,91%), kemudian disusul Kabupaten Aceh Timur 60.592 ha (15,41%), dan
Kabupaten Aceh Singkil 55.441 ha (14,10%). Total produksi sawit di Aceh (2008 –
2013) sudah mencapai 10.939.270 ton, dan selama periode tersebut puncak
kejayaan berada pada tahun 2012 dengan produksi 5.070.556 ton, atau 3.081.880
ton lebih besar dibandingkan total produksi pada tahun 2013 hanya 1.988.676 ton
(BKM 2015).
Salah satu tujuan dari penyelenggaraan perkebunan
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan
mengedepankan azas fungsi lingkungan hidup. Meskipun kemudian pencapaian tujuan
tersebut tidaklah menjadi beban mutlak pada sektor perkebunan kelapa sawit
semata, juga menjadi beban menyeluruh terhadap penyelenggaran perkebunan secara
umum. Akan tetapi, untuk konteks Aceh pencapaian tujuan dimaksud harus menjadi
fokus utama dari penyelenggaran perkebunan kelapa sawit. Kenapa? Karena secara
penguasaan lahan, komoditas kelapa sawit menduduki peringkat pertama dalam
sektor perkebunan di Aceh mencapai 39,43%. Dibandingkan dengan komoditas karet
15,29%, kopi 12,28%, kelapa 10,34%, kakou 10,34%, kemudian 7,04% untuk komoditas
pala, kemiri, cengkeh, dan tebu. Walhi Aceh mencatat penguasaan ruang/kawasan
untuk sektor perkebunan mencapai 1.195.528 ha, terdiri dari perkebunan besar
385.435 ha dan perkebunan rakyat 810.093 ha (Rekam Jejak Pengelolaan Lingkungan
Hidup 2015).
Angka Kemiskinan di Aceh
Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
sebuah kalimat yang cukup mudah diucap, tidak hanya menjadi janji regulasi akan
tetapi tujuan utama dari janji politik pimpinan daerah. Dalam aspek perkebunan,
tentunya harus ditemukan alat ukur yang tepat dalam mengukur “kesejahteraan dan
kemakmuran” tersebut. Karena sampai dewasa ini belum ditemukan jawaban yang
tepat terkait pertanyaan “seberapa besar pengaruh perkebunan sawit (HGU) dalam
menurunkan angka kemiskinan di Aceh?”. Meskipun kemudian masih terjadi
perdebatan dari kalangan pro dan kontra sawit di Aceh dalam menjawab pertanyaan
itu, namun yang pasti pada tahun 2015 angka kemiskinan meningkat di Aceh. Baca Juga Ketika Satwa Mendapat Prioritas Dalam Pembangunan
Pada Maret
2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan
di bawah Garis Kemiskinan) di Aceh mencapai 851 ribu orang (17,08 persen), bertambah sebanyak 14 ribu orang dibandingkan dengan penduduk
miskin pada September 2014 yang jumlahnya 837 ribu orang (16,98 persen). Selama periode September 2014 - Maret 2015, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar
0,23 persen (dari 11,36 persen menjadi 11,13 persen), dan di daerah perdesaan mengalami
peningkatan 0,25 persen (dari 19,19 persen menjadi 19,44 persen). Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan lebih besar dibandingkan
peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2015 sebesar 75,97 persen sedangkan pada September 2014 sebesar 76,52 persen (BPS: Profil Kemiskinan Provinsi Aceh Maret 2015).
Meningkatnya angka kemiskinan pada
tahun 2015 harus menjadi pelajaran penting bagi Pemerintah Aceh. Dengan
kekayaan sumber daya alam di Aceh seharusnya kondisi tersebut tidak terjadi dan
semestinya terjadi penurunan angka kemiskinan. Tentu ada pendekatan yang keliru
dalam pengelolaan kekayaan tersebut, termasuk pengelolaan sektor perkebunan sub
sektor perkebunan kelapa sawit di Aceh. Jika boleh berasumsi, mungkin
penyelenggaran perkebunan kelapa sawit melalui perusahaan perkebunan (HGU) menjadi bagian dari masalah kemiskinan
di Aceh? Buktinya, beberapa daerah di Aceh yang menguasai lahan perkebunan besar
kepala sawit secara angka, masyarakatnya juga belum makmur dan sejahtera. Baca juga Kerangka Penjelas Konflik Agraria Struktural
Kasus
Perkebunan
Justru sebaliknya, maraknya kasus perkebunan
seakan membenarkan asumsi diatas, dan menjadi bukti penyelenggaraan perkebunan
di Aceh masih jauh dari harapan UU No. 39 Tahun 2014. Ekspansi perkebunan sawit
dengan beragam kasus yang terjadi di Aceh telah berdampak serius terhadap
ekonomi, sosial, dan ekologi. Kasus sengketa lahan antara warga dengan
perusahaan perkebunan contohnya yang sampai hari belum terselesaikan, dan
justru terkesan terjadinya pembiaran oleh pemerintah setempat. Berapa jumlah
lahan pertanian/perkebunan warga yang hilang, baik yang beralaskan hak atau
telah berkurangnya ruang kelola rakyat.
Selain itu, konflik
sosial, konflik satwa, rusak hutan, keringnya sumur warga, berkurangnya debit
air, pencemaran lingkungan, limbah, hilangnya nyawa manusia, trauma, hilanya
desa, terjadi “perbudakan” dalam skenario buruh, dan bencana merupakan bentuk –
bentuk kerugian yang ditimbulkan. Pertanyaan kemudian, pemerintah menghitung
tidak angka kerugian tersebut? Sebanding tidak dengan tingkat pendapatan daerah
yang diterima? Tentu sulit ditemukan jawabannya bila dikaitkan dengan
kepentingan politik dan keberpihakan terhadap pengusaha dalam setiap kebijakan
perizinan perkebunan di Aceh. Dengan demikian, masyarakat tetap menjadi pihak
yang dirugikan sedangkan pengusaha dan elit politik meraup keuntungan. Baca Juga KETIKA POHON IBARAT “GADIS”
Solusi
Jika kemudian tidak ditemukan
jawaban terkait seberapa besar peran perkebunan sawit terhadap penurunan angka
kemiskinan, sudah sepatutnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap
izin perkebunan kelapa sawit. Dan tentunya sebuah apresiasi jika pemerintah
berani mencabut izin HGU bagi perusahaan yang memiliki kasus dengan warga, dan
memperluas ruang kelola rakyat yang dilakukan secara mandiri ditingkat tapak. Moratorium
izin perkebunan sawit juga menjadi pilihan yang tepat, terlebih agenda Pilkada
sudah di depan mata. Baca Juga Konsep Pembangunan Jalan Lintas Tengah Aceh
Selain harus menemukan jawaban dari
sejumlah pertanyaan mendasar di atas, Pemerintah Aceh juga harus mampu
mendesain pembangunan berbasis pemberdayaan kawasan, sehingga kemudian dalam
setiap aspek pengelolaan sumber daya alam terjadinya keseimbangan antara
kepentingan ekonomi, sosial, dan kepentingan ekologi di Aceh.[]