Perkebunan kelapa sawit belum menjawab persoalan mendasar masyarakat (kesejahteraan). Justru sebaliknya, maraknya kasus perkebunan
seakan membenarkan asumsi diatas, dan menjadi bukti penyelenggaraan perkebunan
di Aceh masih jauh dari harapan UU No. 39 Tahun 2014. Ekspansi perkebunan sawit
dengan beragam kasus yang terjadi di Aceh telah berdampak serius terhadap
ekonomi, sosial, dan ekologi. Kasus sengketa lahan antara warga dengan
perusahaan perkebunan contohnya yang sampai hari belum terselesaikan, dan
justru terkesan terjadinya pembiaran oleh pemerintah setempat. Berapa jumlah
lahan pertanian/perkebunan warga yang hilang, baik yang beralaskan hak atau
telah berkurangnya ruang kelola rakyat.
Selain itu, konflik
sosial, konflik satwa, rusak hutan, keringnya sumur warga, berkurangnya debit
air, pencemaran lingkungan, limbah, hilangnya nyawa manusia, trauma, hilanya
desa, terjadi “perbudakan” dalam skenario buruh, dan bencana merupakan bentuk –
bentuk kerugian yang ditimbulkan. Pertanyaan kemudian, pemerintah menghitung
tidak angka kerugian tersebut? Sebanding tidak dengan tingkat pendapatan daerah
yang diterima? Tentu sulit ditemukan jawabannya bila dikaitkan dengan
kepentingan politik dan keberpihakan terhadap pengusaha dalam setiap kebijakan
perizinan perkebunan di Aceh. Dengan demikian, masyarakat tetap menjadi pihak
yang dirugikan sedangkan pengusaha dan elit politik meraup keuntungan. Baca juga perkebunan kelapa sawit sumber kemiskinan?