SEBAB
– SEBAB
Pemberian izin/hak/konsesi oleh pejabat
publik (Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur, Bupati/Walikota)
yang memasukan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan sekelompok rakyat ke dalam
konsesi badan – badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun
konservasi.
Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan
penipuan dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek – proyek pembangunan,
perusahaan – perusahaan raksasa, dan pemegang konsesi lain dalam bidang
produksi, ekstraksi, atau konservasi.
Eksklusi sekelompok rakyat pedesaan dari
tanah/wilayah kelola/SDA yang dimasukan ke dalam konsesi badan usaha raksasa
tersebut.
Perlawanan langsung dari kelompok rakyat
sehubungan eksklusi tersebut.
AKIBAT
– AKIBAT
Eksklusi rakyat, perempuan dan laki –
laki, atas tanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan secara langsung, berakibat
hilangnya (sebagian) wilayah hidup, mata pencaharian, dan kepemilikan atas
harta benda.
Menyempitnya ruang hidup rakyat, yang
diiringi menurunnya kemandirian rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
utamanya pangan.
Last but not least,
transformasi dari petani menjadi pekerja upahan
AKIBAT
LANJUTAN
Konflik yang berkepanjangan menciptakan
krisis sosial ekologi yang kronis, termasuk mendorong penduduk desa bermigran
ke wilayah – wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru atau
pergi ke kota menjadi golongan miskin perkotaan
pergi ke kota menjadi golongan miskin perkotaan
Dalam krisis sosial ekologis ini secara
khusus perhatian perlu diberikan pada berbagai bentuk ketidakadilan gender, di
mana perempuan dari kelompok marginal menghadapi dan menanggung beban yang jauh
lebih besar.
Merosotnya kepercayaan masyarakat
setempat terhadap pemerintah pada gilirannya dapat menggerus rasa
ke-Indonesia-an para korban.
Meluasnya artikulasi konflik agraria ke
bentuk – bentuk konflik lain seperti: konflik etnis, konflik agama, konflik
antar kampung/desa, dan konflik antar “penduduk asli” dan pendatang.
KONDISI
YANG MELESTARIKAN
Tidak adanya koreksi atas putusan –
putusan pejabat publik yang memasukan tanah/wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam
konsesi badan usaha atau badan pemerintah raksasa untuk produksi, ekstraksi,
maupun konservasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus – menerus proses
pemberian izin/hak pada badan – badan raksasa tersebut.
Lembaga – lembaga pemerintah tidak
pernah membuka informasi kepada publik, apalagi dikontrol oleh publik, perihal
penerbitan hak/izin/lisensi yang berada pada kewenangannya.
Ketiadaan kelembagaan yang memiliki
otoritas penuh, bersifat lintas sektor kelembagaan pemerintahan, dan adekuat
dalam menangani konflik agraria yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Badan – badan usaha atau badan – badan
pemerintah bersikap defensif apabila rakyat mengartikulasikan protes berkenaan
dengan hilang atau berkurangnya akses rakyat atas tanah, SDA, dan wilayahnya
sebagai akibat dari hak/izin/lisensi yang mereka dapatkan itu. Lebih lanjut,
protes rakyat disikapi dengan kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi.
Sempitnya ruang lingkup dan terhambatnya
pelaksanaan program yang disebut “Reforma Agraria” dalam membereskan
ketimpangan penguasaan tanah dan SDA. Lebih dari itu, kita menyaksikan berbagai
skandal dalam implementasi redistribusi tanah, misalnya pemberian tanah bukan
pada mereka yang memperjuangkan, pengurangan jumlah tanah yang seharusnya
diredistribusi, penipuan, dan tanah – tanah yang diredistribusi ternyata malah
dikuasi oleh tuan – tuan tanah.
AKAR
MASALAH
Tidak adanya kebijakan untuk menyediakan
kepastian penguasaan (tenurial security) bagi akses tanah –
tanah/SDA/wilayah kelola masyarakat, termasuk pada akses yang berada dalam
kawasan hutan negara.
Dominasi dan ekspansi badan – badan
usaha raksasa dalam industri ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan,
serta konservasi.
Instrumentasi badan – badan pemerintahan
sebagai “lembaga pengadaan tanah” melalui rezim – rezim pemberian
hak/izin/lisensi atas tanah dan sumber daya alam.
UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkan
sebagai UU payung, pada praktiknya disempitkan hanya mengurus wilayah non hutan
(sekitar 30% wilayah RI), sementara prinsip – prinsipnya diabaikan.
Peraturan perundang – undangan mengenai
pertanahan/kehutanan/PSDA lainnya tumpang tindih dan bertentangan antara satu
dengan yang lain.
Hukum – hukum adat yang berlaku di
kalangan masyarakat diabaikan atau ditiadakan keberlakukannya oleh perundang –
undangan agraria, kehutanan dan pertambangan.
Sektoralisme kelembagaan, sistem,
mekanisme, dan administrasi yang mengatur pertanahan/kehutanan/SDA lainnya
semakin menjadi – jadi.
Last but not least, semakin
menajamnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peruntukan
tanah/hutan/SDA lainnya.
Sumber: Sajogyo
Institute’s Working Paper